PARJO
-Ni Putu Wiwin Adyasari-
“Tidak…..jangan
ambil sahabatku, hanya Tarjo yang selalu menemani hari-hariku setelah bapakku
meninggal.”
“Sudah
saatnya Tarjo pergi dari hidupmu! Aku akan memusnahkannya sekarang juga!”
“Tarjooo,
tidak……”
Gubrakk!
“Ternyata itu cuma mimpi,”. Mimpi buruk membangunkan Parjo dari ranjang
kesayangannya. Seketika ia menghampiri Tarjo untuk memastikan bunga tidur yang
membuatnya berkeringat dingin.
“Tarjo,
untunglah tak terjadi apa-apa padamu. Cuma kau sahabatku saat ini.”
kring..kring…kring…dering
telepon bernyanyi,
“Hallo
jo, ibumu meninggal pagi tadi.”
“o..op…opo?”
“Ibu
meninggal subuh tadi!, cepet pulang jo. Ibumu dimakamkan petang nanti.”
“i…iy..iyoo”
Telepon
jatuh dari genggaman tangan Parjo, ia terkejut setelah mendengar kabar ibunya
telah meninggal dunia. Seolah-olah badan pria yang bertubuh kurus ini, lemas
begitu saja tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirnya.
Drengg..drengg…drengg…Parjo
memanaskan mesin Tarjo, vespa lama yang selalu bersamanya saat ini.
“Tuhan,
apa ini? Cobaan apalagi yang Kau berikan kepada hambamu ini? bapakku sudah Kau
panggil, sekarang ibuku, Kau panggil juga? Kenapa aku tak Kau panggil? Lebih
baik diriku bersama mereka!”
***
Parjo
sudah lama jauh dari orangtuanya, ia merantau ke Jakarta untuk mengadu
nasibnya. Tetapi sampai saat ini, ia belum bisa menjadi orang sukses di kota
metropolitan. Ia menyesal dengan nasihat orangtuanya dulu di kampung.
“Jo,
jangan kau keras kepala. Siapa yang kau kenal di Jakarta?”
“Iya
jo, ibu juga gak bisa jauh dari anak ibu jo.”
“Pak,
bu. Parjo mau jadi orang sukses. Bapak sama ibu ga mau anaknya sukses?”
“Jo,
tidak seperti itu. Bapak bukannya gak ingin kamu ini sukses. Tapi?”
“Tapi
apa pak? Bapak mau anak bapak ini jadi buruh kayak bapak? Atau jadi tukang cuci
kayak ibu?”
“Apa
yang kamu katakan jo? Biarpun ibumu ini tukang cuci dan bapakmu buruh yang
gajinya tak seberapa, tapi kami menyayangimu jo.”
“Menyayangi
kata ibu? Ibu pernah belikan Parjo barang-barang bagus kayak temen Parjo?
Pernah bu? Pernah? Bapak juga, pernah bapak belikan Parjo makanan yang enak?
Setiap hari kita cuma makan tempe, kalau gak tempe, lauknya garam. Apa itu yang
ibu bilang sayang? Itu pak?”
Bapak
dan ibu Parjo pasrah akan apa yang diinginkan anaknya, karena mereka belum bisa
memberikan apa yang Parjo inginkan dari dulu. Parjo ke Jakarta bersama temannya
yang ingin mengadu nasib seperti dia.
Di
Jakarta Parjo menjadi seorang sopir bemo. Awalnya ia bahagia telah mendapat
pekerjaan yang lebih baik dari orangtuanya, ia juga telah bisa membeli rumah.
Walau rumah yang dibelinya masih terbilang sederhana, ia bangga mampu membeli
itu. Ia mengirimkan surat ke orangtuanya di kampung, bahwa ia telah memulai
kesuksesannya.
“Mereka
pasti tak percaya dengan apa yang aku tulis. Sudah aku katakan, aku akan sukses
di Jakarta. Mereka saja yang tak percaya.”
Surat
yang dikirim Parjo sudah 3 bulan tidak dibalas oleh orangtuanya di kampung.
Parjo menjadi gelisah, ia rindu dengan keluarganya di kampung.
“Gimana
ini? Kok tidak dibalas ya? Aku gelisah pak,buk. Parjo rindu kalian, tapi Parjo
akan sukses pa,buk. Semoga kalian sehat disana.”
“Jo!,
dari tadi aku cari. Ternyata kau malah disini, ada kabar tak mengenakkan jo.”
“Apa
mat? Gajimu turun ya?”
“Bukan
itu jo. Tapi berita dari kampungmu jo, katanya bapakmu sudah menginggal dunia.
Turut berduka cita ya jo.”
“Mat?
Ini bener? Siapa yang ngasi tau mat? Aku gak percaya sama kamu mat!”
“Ini
bener jo, aku gak bohong. Kalau Mamat bohong, masuk neraka.”
Parjo
tak menyangka itu terjadi. Ia berniat untuk pulang ke kampungnya. Tetapi bos
Parjo tidak mengijinkannya.
“Sok-sokkan
pulang kampung kamu! Udah setoran sedikit, minta pulang kampung lagi. Lebih
baik saya pecat kamu dan cari orang yang lebih rajin dari kamu.”
“Maaf
bos, tapi bapak saya meninggal. Masa saya tidak melihatnya untuk terakhir
kalinya? Saya sudah tidak bertemu dengan keluarga saya selama 1 tahun. Bapak
boleh memotong gaji saya asalkan saya boleh pulang ke kampung saya.”
“Sudah
saya bilang tidak bisa, keras kepala sekali kamu jo! Kalau di Jakarta kamu
seperti, kamu tidak bisa hidup jo.”
“Baik
pak, lebih baik saya selesai bekerja bersama bapak. Saya akan mencari bos yang
lebih baik dari bapak ini!”
“Silakan
saja kalau ada, dasar keras kepala! Mau hidup seenaknya, disini mau seperti itu
gak bisa hidup. Kalau tau gitu, ngapain isi merantau jauh-jauh cuma mau jadi
sopir?”
“Diamlah
kau, sekarang kau bukan bosku lagi. Lihat saja nanti, aku akan jadi orang
sukses! Camkan itu ya orang sombong!”
“Kalau
mau jadi orang sukses jangan keras kepala, dengerin nasihat orangtua. Sombong
teriak sombong, dasar… Kenapa kamu masih disini? Sekarang juga pergi!”
“Ingat
ya, awas kau!”
Parjo
bersiap-siap untuk pulang ke kampungnya. Tapi, ia kekurangan uang untuk ongkos
transportasi. Ia berpikir ia cukup berjalan kaki bila uangnya kurang. Namun ternyata
uangnya sudah habis ditengah perjalanannya.
“Kalau
jalan kaki, bisa mati sampai kampung. Kalau gak nyampek, harus gimana ya? Udah
uang habis lagi. Bisa-bisa jadi gelandangan disini.”
***
Setengah
perjalanan lagi ditambah uang habis membuat Parjo memutuskan tidak ke
kampungnya. Ia hanya bisa membacakan doa kepada Tuhan agar bapaknya berada
diantara orang-orang yang beriman.
“Sial.
Kenapa penyesalan selalu pada akhir? Coba aku nurut kata bos dulu, sekarang
pasti gak gini akhirnya. Pekerjaan hilang, rumah gak ada lagi, uang gak punya,
pulang kampung juga gak jadi. Tuhan gak adil.”
Matahari
mulai terbenam, Parjo sudah tak tau lagi ia harus kemana. Datanglah seorang
bapak berkumis tebal, dengan pakaian yang dipenuhi oli. Ia menghampiri Parjo.
“Sedang
apa kamu disini? Siapa namamu? Dari mana asalmu? Apa pekerjaanmu?”
“Seharusnya
saya yang bertanya, kenapa bapak bertanya begitu banyak ke saya? Saya bukan
teroris pak!”
“Saya
melihatmu disini, ini bengkel saya. Jadi saya berhak bertanya kepadamu, mungkin
kamu ingin melamar kerja disini.”
“Oo,
ini bengkel bapak. Siapa yang mau kerja disini? Mending saya kerja jadi sopir
bemo di kota Jakarta kaya dulu.”
“Baiklah,
kenapa kamu tidak pergi dari sini kalau seperti itu? Jadi sopir bemo aja
sombong.”
Parjo
dan pemilik bengkel bedebat. Pada akhirnya Parjo memilih mengalah, karena ia
sudah tak tau lagi harus kemana. Semenjak itu, ia bekerja di bengkel pak Anton.
Ia
bersama pak Anton saling berbagi cerita masa lalunya. Betapa terkejutnya Parjo
mendengar bahwa pak Anton dulunya seorang pengusaha kaya, yang memiliki banyak
perusahaan. Tetapi pak Anton bangkrut setelah ia dibohongi salah satu mitra
kerjanya. Istri dan anaknya memilih bercerai darinya dan menikah dengan mitra
kerjanya tersebut.
Beberapa
tahun berlalu, Parjo telah di anggap seperti anak sendiri oleh pak Anton. Baik,
buruk, manis, pedas, pahit hidup mereka rasakan bersama di pinggiran Jakarta.
Apa boleh buat, takdir memisahkan mereka. Rumah dan bengkel pak Anton dilalap
si jago merah. Tak terkecuali pak Anton, ia terkena serangan jantung yang
mengakibatkan meninggal dunia.
“Kenapa
ini terjadi lagi Tuhan? Bapakku sudah Kau renggut, Kau renggut juga pak Anton?
Kenapa takdirku harus seperti ini?”
Parjo
sudah kehilangan lagi orang yang disayanginya. Satu-satunya yang tersisa
hanyalah vespa lama milik pak Anton yang sudah usang. Semenjak itu, Parjo
menamai vespa tersebut Tarjo.
“Sekarang
kaulah sahabatku Tarjo. Antarlah aku ke nasib yang lebih baik, buatlah sikapku
yang seperti ini menjadi lebih tabah dan ingan pada Tuhan. Aku yakin Tuhan
punya cerita tersendiri dalam menghias garis hidupku.”
Parjo
menelusuri seluk beluk pinggiran Jakarta, entah apa yang terjadi pada Tarjo.
Tarjo tiba-tiba mati di tengah jalan yang ramai, Parjo berusaha
menghidupkannya, tapi tak berhasil juga.
“Tarjo
tarjo, dasar vespa tua tak ada guna. Sia-sia aku menyuruhmu membantuku membawa
ke nasib yang lebih baik. Dasar vespa butut!”
Ia tak menyadari berhenti di antara
kerusuhan. Kepala Parjo panas, telinganya memerah mendengar suara para pelaku
kerusuhan. Entah kenapa harus terjadi pada Parjo dalam benak hatinya.
Plak.. sebuah kerikil mengenai
kepala Parjo. Parjo kesakitan, sementara itu ia juga bingung. Ia berteriak
keras.
“Tuhan…. Kenapa ini harus terjadi
padaku?”
Sejenak para pelaku terdiam, pistol
gas air mata diluncurkan polisi. Parjo yang tak tau apapun dihampiri seorang
polisi. Apa yang dilakukan Parjo diluar dugaan yang terjadi. Suaranya mampu
membuat pelaku kerusuhan terdiam begitu saja.
“Kamu memang hebat. Kamu dari mana?
Tinggal dimana?”
“Aku hidup nomaden, aku bisa hidup
dimanapun.”
“Apakah kamu malaikat?”
“Malaikat?
Aku bukan malaikat, aku adalah orang biasa yang awalnya sombong dan keras
kepala. Tapi, setelah banyak peristiwa terjadi padaku, aku tau diriku yang
sebenarnya.”
“Bisakah kamu sekarang pergi
bersamaku?”
“Boleh. Tapi, vespaku mogok dan aku
sendiri tidak bisa memperbaikinya. Bagaimana? "
“Tenang saja.”
Drengg…drengg..dreng.. suara Tarjo
mulai bersiul. Parjo dan polisi tersebut pergi ke tempat yang belum pernah
Parjo ketahui. Sampailah ia di sebuah
rumah. Sembari ia duduk, Parjo memperkenalkan namanya. Polisi tersebut menyuruh
Parjo menunggu, ia terkejut melihat seorang pendeta.
“Nah Parjo, ini adalah ayahku. Ia
seorang pendeta, mungkin sudah pernah mendengar namanya, tapi belum tau
wajahnya. Inilah pendeta Agung.”
“Aku
tau namanya, wah ternyata aku bisa bertemu dengannya. Dulu bapakku dan ibuku
sangat ingin bertemu dengan beliau, tapi itu adalah hal yang tidak mungkin
mengingat rumahku jauh di kampung pedalaman. Sekarang pula bapakku sudah
tiada.”
“Maaf Parjo aku tidak tau ayahmu
telah tiada.”
“Tidak apa-apa. Tapi rasa gelisahku
tak kunjung hilang. Dulu aku pernah tidak acuh dengan apa yang mereka katakan.
Aku selalu bersikap tak tau malu.”
“Nasi
sudah menjadi bubur Parjo. Tapi saya akan membantumu menjadi orang yang lebih
baik.”
“Terima kasih pendeta Agung.”
***
Selama 2 tahun Parjo diajarkan materi
spiritual oleh pendeta Agung. Ia akhirnya tau bagaimana Tuhan menuntunnya
sampai saat ini. Cukup sudah bagi Parjo menjadi parasit di rumah pendeta Agung.
Ia memutuskan merantau kembali ke kota Jakarta. Dengan berkat pendeta, Parjo
percaya Tarjo mampu membawanya ke nasib yang lebih baik.
Kini
di Jakarta, Parjo menjadi guru spiritual tanpa meminta bayaran kepada muridnya.
Ia berusaha memperdekat dirinya dengan Tuhan, ia percaya bahwa ada nirwana di
balik petaka. Dan kehidupan bagaikan roda yang berputar.
Parjo telah berhasil, ia telah
menjadi orang yang sukses dalam hal spiritual. Ia bangga punya keluarga yang
menyayanginya, walau ia belum sempat bertemu lagi.
Brak.....ban
vespa kesayangannya menabrak trotoar jalan, membangunkan Parjo dari lamunan masa-masa
ia mencari jati diri yang sebenarnya. Tarjo memang sahabat terbaik bagi Parjo. Tak
disangka, Parjo sudah menempuh setengah jalan ke kampungnya. Ia melewati tempat
dimana ia bertemu dengan pak Anton.
“Dari sinilah aku tau bagaimana
rasanya hidup dengan orangtua seperti pak Anton.”
Akhirnya Parjo sampai ke depan
gerbang kampunya. Mendadak Tarjo mati dan membuat Parjo harus berlari ke
rumahnya demi melihat wajah ibunya untuk terakhir kalinya. Spontan warga disana
menangis dengan apa yang dilakukan Parjo. Ia mencium telapak kaki ibunya, ia
mengatakan tiada kata terlambat. Ia memohon maaf kepada ibunya, walau sudah
tidak bernyawa, Parjo tetap memeluk ibunya tersebut.
“Parjo
telah sukses bu, maafkan Parjo bu. Parjo tidak akan lupa denganmu bu, juga
bapak.”
Semua warga menangis histeris
melihat hal tesebut. Tak terkecuali Agus, sepupu Parjo pun menangis dan nyaris
pinsan karena tak percaya Parjo telah menjadi orang yang sukses.
Pada saat pemakanan, Tarjo ikut
dimakankan di antara kuburan bapak Parjo yang dulu dah ibunya. Ia ikut
memakamkan Tarjo bersama mereka karena Parjo yakin, Tarjo akan mengantarkan roh
orangtua Parjo ke tempat orang-orang yang beriman.
***