Jumat, 01 Juni 2018

CERPEN


PARJO
-Ni Putu Wiwin Adyasari-

            “Tidak…..jangan ambil sahabatku, hanya Tarjo yang selalu menemani hari-hariku setelah bapakku meninggal.”

            “Sudah saatnya Tarjo pergi dari hidupmu! Aku akan memusnahkannya sekarang juga!”

            “Tarjooo, tidak……”

            Gubrakk! “Ternyata itu cuma mimpi,”. Mimpi buruk membangunkan Parjo dari ranjang kesayangannya. Seketika ia menghampiri Tarjo untuk memastikan bunga tidur yang membuatnya berkeringat dingin.

            “Tarjo, untunglah tak terjadi apa-apa padamu. Cuma kau sahabatku saat ini.”

            kring..kring…kring…dering telepon bernyanyi,

            “Hallo jo, ibumu meninggal pagi tadi.”

            “o..op…opo?”

            “Ibu meninggal subuh tadi!, cepet pulang jo. Ibumu dimakamkan petang nanti.”

            “i…iy..iyoo”

            Telepon jatuh dari genggaman tangan Parjo, ia terkejut setelah mendengar kabar ibunya telah meninggal dunia. Seolah-olah badan pria yang bertubuh kurus ini, lemas begitu saja tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirnya.

            Drengg..drengg…drengg…Parjo memanaskan mesin Tarjo, vespa lama yang selalu bersamanya saat ini.

            “Tuhan, apa ini? Cobaan apalagi yang Kau berikan kepada hambamu ini? bapakku sudah Kau panggil, sekarang ibuku, Kau panggil juga? Kenapa aku tak Kau panggil? Lebih baik diriku bersama mereka!”
***
            Parjo sudah lama jauh dari orangtuanya, ia merantau ke Jakarta untuk mengadu nasibnya. Tetapi sampai saat ini, ia belum bisa menjadi orang sukses di kota metropolitan. Ia menyesal dengan nasihat orangtuanya dulu di kampung.

            “Jo, jangan kau keras kepala. Siapa yang kau kenal di Jakarta?”

            “Iya jo, ibu juga gak bisa jauh dari anak ibu jo.”

            “Pak, bu. Parjo mau jadi orang sukses. Bapak sama ibu ga mau anaknya sukses?”

            “Jo, tidak seperti itu. Bapak bukannya gak ingin kamu ini sukses. Tapi?”

            “Tapi apa pak? Bapak mau anak bapak ini jadi buruh kayak bapak? Atau jadi tukang cuci kayak ibu?”

            “Apa yang kamu katakan jo? Biarpun ibumu ini tukang cuci dan bapakmu buruh yang gajinya tak seberapa, tapi kami menyayangimu jo.”

            “Menyayangi kata ibu? Ibu pernah belikan Parjo barang-barang bagus kayak temen Parjo? Pernah bu? Pernah? Bapak juga, pernah bapak belikan Parjo makanan yang enak? Setiap hari kita cuma makan tempe, kalau gak tempe, lauknya garam. Apa itu yang ibu bilang sayang? Itu pak?”

            Bapak dan ibu Parjo pasrah akan apa yang diinginkan anaknya, karena mereka belum bisa memberikan apa yang Parjo inginkan dari dulu. Parjo ke Jakarta bersama temannya yang ingin mengadu nasib seperti dia.

            Di Jakarta Parjo menjadi seorang sopir bemo. Awalnya ia bahagia telah mendapat pekerjaan yang lebih baik dari orangtuanya, ia juga telah bisa membeli rumah. Walau rumah yang dibelinya masih terbilang sederhana, ia bangga mampu membeli itu. Ia mengirimkan surat ke orangtuanya di kampung, bahwa ia telah memulai kesuksesannya.

            “Mereka pasti tak percaya dengan apa yang aku tulis. Sudah aku katakan, aku akan sukses di Jakarta. Mereka saja yang tak percaya.”

            Surat yang dikirim Parjo sudah 3 bulan tidak dibalas oleh orangtuanya di kampung. Parjo menjadi gelisah, ia rindu dengan keluarganya di kampung.

            “Gimana ini? Kok tidak dibalas ya? Aku gelisah pak,buk. Parjo rindu kalian, tapi Parjo akan sukses pa,buk. Semoga kalian sehat disana.”

            “Jo!, dari tadi aku cari. Ternyata kau malah disini, ada kabar tak mengenakkan jo.”

            “Apa mat? Gajimu turun ya?”

            “Bukan itu jo. Tapi berita dari kampungmu jo, katanya bapakmu sudah menginggal dunia. Turut berduka cita ya jo.”

            “Mat? Ini bener? Siapa yang ngasi tau mat? Aku gak percaya sama kamu mat!”

            “Ini bener jo, aku gak bohong. Kalau Mamat bohong, masuk neraka.”

            Parjo tak menyangka itu terjadi. Ia berniat untuk pulang ke kampungnya. Tetapi bos Parjo tidak mengijinkannya.

            “Sok-sokkan pulang kampung kamu! Udah setoran sedikit, minta pulang kampung lagi. Lebih baik saya pecat kamu dan cari orang yang lebih rajin dari kamu.”

            “Maaf bos, tapi bapak saya meninggal. Masa saya tidak melihatnya untuk terakhir kalinya? Saya sudah tidak bertemu dengan keluarga saya selama 1 tahun. Bapak boleh memotong gaji saya asalkan saya boleh pulang ke kampung saya.”

            “Sudah saya bilang tidak bisa, keras kepala sekali kamu jo! Kalau di Jakarta kamu seperti, kamu tidak bisa hidup jo.”

            “Baik pak, lebih baik saya selesai bekerja bersama bapak. Saya akan mencari bos yang lebih baik dari bapak ini!”

            “Silakan saja kalau ada, dasar keras kepala! Mau hidup seenaknya, disini mau seperti itu gak bisa hidup. Kalau tau gitu, ngapain isi merantau jauh-jauh cuma mau jadi sopir?”

            “Diamlah kau, sekarang kau bukan bosku lagi. Lihat saja nanti, aku akan jadi orang sukses! Camkan itu ya orang sombong!”

            “Kalau mau jadi orang sukses jangan keras kepala, dengerin nasihat orangtua. Sombong teriak sombong, dasar… Kenapa kamu masih disini? Sekarang juga pergi!”

            “Ingat ya, awas kau!”

            Parjo bersiap-siap untuk pulang ke kampungnya. Tapi, ia kekurangan uang untuk ongkos transportasi. Ia berpikir ia cukup berjalan kaki bila uangnya kurang. Namun ternyata uangnya sudah habis ditengah perjalanannya.

            “Kalau jalan kaki, bisa mati sampai kampung. Kalau gak nyampek, harus gimana ya? Udah uang habis lagi. Bisa-bisa jadi gelandangan disini.”
***
            Setengah perjalanan lagi ditambah uang habis membuat Parjo memutuskan tidak ke kampungnya. Ia hanya bisa membacakan doa kepada Tuhan agar bapaknya berada diantara orang-orang yang beriman.

            “Sial. Kenapa penyesalan selalu pada akhir? Coba aku nurut kata bos dulu, sekarang pasti gak gini akhirnya. Pekerjaan hilang, rumah gak ada lagi, uang gak punya, pulang kampung juga gak jadi. Tuhan gak adil.”

            Matahari mulai terbenam, Parjo sudah tak tau lagi ia harus kemana. Datanglah seorang bapak berkumis tebal, dengan pakaian yang dipenuhi oli. Ia menghampiri Parjo.


            “Sedang apa kamu disini? Siapa namamu? Dari mana asalmu? Apa pekerjaanmu?”

            “Seharusnya saya yang bertanya, kenapa bapak bertanya begitu banyak ke saya? Saya bukan teroris pak!”

            “Saya melihatmu disini, ini bengkel saya. Jadi saya berhak bertanya kepadamu, mungkin kamu ingin melamar kerja disini.”

            “Oo, ini bengkel bapak. Siapa yang mau kerja disini? Mending saya kerja jadi sopir bemo di kota Jakarta kaya dulu.”

            “Baiklah, kenapa kamu tidak pergi dari sini kalau seperti itu? Jadi sopir bemo aja sombong.”

            Parjo dan pemilik bengkel bedebat. Pada akhirnya Parjo memilih mengalah, karena ia sudah tak tau lagi harus kemana. Semenjak itu, ia bekerja di bengkel pak Anton.

            Ia bersama pak Anton saling berbagi cerita masa lalunya. Betapa terkejutnya Parjo mendengar bahwa pak Anton dulunya seorang pengusaha kaya, yang memiliki banyak perusahaan. Tetapi pak Anton bangkrut setelah ia dibohongi salah satu mitra kerjanya. Istri dan anaknya memilih bercerai darinya dan menikah dengan mitra kerjanya tersebut.

            Beberapa tahun berlalu, Parjo telah di anggap seperti anak sendiri oleh pak Anton. Baik, buruk, manis, pedas, pahit hidup mereka rasakan bersama di pinggiran Jakarta. Apa boleh buat, takdir memisahkan mereka. Rumah dan bengkel pak Anton dilalap si jago merah. Tak terkecuali pak Anton, ia terkena serangan jantung yang mengakibatkan meninggal dunia.

            “Kenapa ini terjadi lagi Tuhan? Bapakku sudah Kau renggut, Kau renggut juga pak Anton? Kenapa takdirku harus seperti ini?”

            Parjo sudah kehilangan lagi orang yang disayanginya. Satu-satunya yang tersisa hanyalah vespa lama milik pak Anton yang sudah usang. Semenjak itu, Parjo menamai vespa tersebut Tarjo.

            “Sekarang kaulah sahabatku Tarjo. Antarlah aku ke nasib yang lebih baik, buatlah sikapku yang seperti ini menjadi lebih tabah dan ingan pada Tuhan. Aku yakin Tuhan punya cerita tersendiri dalam menghias garis hidupku.”

            Parjo menelusuri seluk beluk pinggiran Jakarta, entah apa yang terjadi pada Tarjo. Tarjo tiba-tiba mati di tengah jalan yang ramai, Parjo berusaha menghidupkannya, tapi tak berhasil juga.

            “Tarjo tarjo, dasar vespa tua tak ada guna. Sia-sia aku menyuruhmu membantuku membawa ke nasib yang lebih baik. Dasar vespa butut!”

                        Ia tak menyadari berhenti di antara kerusuhan. Kepala Parjo panas, telinganya memerah mendengar suara para pelaku kerusuhan. Entah kenapa harus terjadi pada Parjo dalam benak hatinya.

                        Plak.. sebuah kerikil mengenai kepala Parjo. Parjo kesakitan, sementara itu ia juga bingung. Ia berteriak keras.

            “Tuhan…. Kenapa ini harus terjadi padaku?”

                        Sejenak para pelaku terdiam, pistol gas air mata diluncurkan polisi. Parjo yang tak tau apapun dihampiri seorang polisi. Apa yang dilakukan Parjo diluar dugaan yang terjadi. Suaranya mampu membuat pelaku kerusuhan terdiam begitu saja.

            “Kamu memang hebat. Kamu dari mana? Tinggal dimana?”

            “Aku hidup nomaden, aku bisa hidup dimanapun.”

            “Apakah kamu malaikat?”

                        “Malaikat? Aku bukan malaikat, aku adalah orang biasa yang awalnya sombong dan keras kepala. Tapi, setelah banyak peristiwa terjadi padaku, aku tau diriku yang sebenarnya.”

            “Bisakah kamu sekarang pergi bersamaku?”

                        “Boleh. Tapi, vespaku mogok dan aku sendiri tidak bisa memperbaikinya. Bagaimana? "

            “Tenang saja.”

                        Drengg…drengg..dreng.. suara Tarjo mulai bersiul. Parjo dan polisi tersebut pergi ke tempat yang belum pernah Parjo ketahui.  Sampailah ia di sebuah rumah. Sembari ia duduk, Parjo memperkenalkan namanya. Polisi tersebut menyuruh Parjo menunggu, ia terkejut melihat seorang pendeta.

                        “Nah Parjo, ini adalah ayahku. Ia seorang pendeta, mungkin sudah pernah mendengar namanya, tapi belum tau wajahnya. Inilah pendeta Agung.”

            “Aku tau namanya, wah ternyata aku bisa bertemu dengannya. Dulu bapakku dan ibuku sangat ingin bertemu dengan beliau, tapi itu adalah hal yang tidak mungkin mengingat rumahku jauh di kampung pedalaman. Sekarang pula bapakku sudah tiada.”

            “Maaf Parjo aku tidak tau ayahmu telah tiada.”

                        “Tidak apa-apa. Tapi rasa gelisahku tak kunjung hilang. Dulu aku pernah tidak acuh dengan apa yang mereka katakan. Aku selalu bersikap tak tau malu.”

            “Nasi sudah menjadi bubur Parjo. Tapi saya akan membantumu menjadi orang yang lebih baik.”

            “Terima kasih pendeta Agung.”
***
                        Selama 2 tahun Parjo diajarkan materi spiritual oleh pendeta Agung. Ia akhirnya tau bagaimana Tuhan menuntunnya sampai saat ini. Cukup sudah bagi Parjo menjadi parasit di rumah pendeta Agung. Ia memutuskan merantau kembali ke kota Jakarta. Dengan berkat pendeta, Parjo percaya Tarjo mampu membawanya ke nasib yang lebih baik.

                       Kini di Jakarta, Parjo menjadi guru spiritual tanpa meminta bayaran kepada muridnya. Ia berusaha memperdekat dirinya dengan Tuhan, ia percaya bahwa ada nirwana di balik petaka. Dan kehidupan bagaikan roda yang berputar.

                        Parjo telah berhasil, ia telah menjadi orang yang sukses dalam hal spiritual. Ia bangga punya keluarga yang menyayanginya, walau ia belum sempat bertemu lagi.

            Brak.....ban vespa kesayangannya menabrak trotoar jalan, membangunkan Parjo dari lamunan masa-masa ia mencari jati diri yang sebenarnya. Tarjo memang sahabat terbaik bagi Parjo. Tak disangka, Parjo sudah menempuh setengah jalan ke kampungnya. Ia melewati tempat dimana ia bertemu dengan pak Anton.

                        “Dari sinilah aku tau bagaimana rasanya hidup dengan orangtua seperti pak Anton.”

                        Akhirnya Parjo sampai ke depan gerbang kampunya. Mendadak Tarjo mati dan membuat Parjo harus berlari ke rumahnya demi melihat wajah ibunya untuk terakhir kalinya. Spontan warga disana menangis dengan apa yang dilakukan Parjo. Ia mencium telapak kaki ibunya, ia mengatakan tiada kata terlambat. Ia memohon maaf kepada ibunya, walau sudah tidak bernyawa, Parjo tetap memeluk ibunya tersebut.

                        “Parjo telah sukses bu, maafkan Parjo bu. Parjo tidak akan lupa denganmu bu, juga bapak.”

                        Semua warga menangis histeris melihat hal tesebut. Tak terkecuali Agus, sepupu Parjo pun menangis dan nyaris pinsan karena tak percaya Parjo telah menjadi orang yang sukses.

                        Pada saat pemakanan, Tarjo ikut dimakankan di antara kuburan bapak Parjo yang dulu dah ibunya. Ia ikut memakamkan Tarjo bersama mereka karena Parjo yakin, Tarjo akan mengantarkan roh orangtua Parjo ke tempat orang-orang yang beriman.
***
                
           

         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar